Penjaga Sekolah Aneh Kami, Sosok yang Seharusnya Tak Pernah Ada
VOXBLICK.COM - Aku bersumpah melihatnya. Setiap malam, tanpa kecuali, sosok tua itu akan muncul dari bayang-bayang di ujung lorong utama sekolah kami yang sepi, sapu ijuk di tangannya, dan mulai pekerjaannya. Gerakannya lambat, metodis, nyaris seperti tarian yang dipelajari bertahun-tahun lamanya. Kami para murid yang sering tinggal larut untuk kegiatan ekstrakurikuler atau sekadar mengerjakan tugas, sudah hapal betul ritmenya. Suara sapunya yang berdesir pelan di lantai keramik adalah penanda bahwa malam semakin larut, dan saatnya bagi kami untuk pulang. Tapi ada sesuatu tentangnya, tentang tatapan kosong itu yang tidak pernah benar-benar memandang kami, yang selalu membuat bulu kuduk merinding. Seolah-olah, ia melihat sesuatu yang tak kasat mata, atau justru, ia sendiri yang tak kasat mata bagi dunia nyata.
Namanya, setidaknya yang kami tahu, adalah Pak Harjo. Seorang pria paruh baya yang selalu mengenakan seragam penjaga sekolah yang lusuh, dengan topi pet yang sedikit miring.
Tidak ada yang pernah benar-benar berbicara dengannya lebih dari sekadar sapaan singkat yang jarang dibalas. Ia hanyalah bagian dari lanskap sekolah, seperti meja dan kursi, hanya saja ia bergerak. Sebuah anomali yang kami terima begitu saja. Aku ingat suatu malam, aku dan Rina, teman sebangkuku, sedang menyelesaikan proyek sains di laboratorium fisika, dan kami melihatnya berjalan melewati jendela, siluetnya yang kurus panjang tertarik oleh cahaya bulan. Rina berbisik, "Dia seperti hantu, ya?" Aku hanya mengangguk, tanpa tahu seberapa dekat kami dengan kebenaran ucapan Rina.
Bayangan di Lorong Sepi
Beberapa bulan berlalu, dan keanehan kecil mulai menumpuk. Kadang, kami mendengar suara sapunya di lorong yang seharusnya sudah bersih, atau melihat bayangan melintas di sudut mata, padahal kami yakin hanya ada kami berdua di sana.
Pernah suatu ketika, buku-buku di perpustakaan jatuh dari rak tanpa sebab, tepat setelah suara gesekan sapu terdengar dari luar pintu yang tertutup rapat. Pak Budi, kepala perpustakaan, hanya menggeleng-gelengkan kepala dan menyalahkan angin, padahal semua jendela tertutup. Tapi kami tahu. Kami tahu itu bukan angin. Itu adalah "Penjaga Sekolah Aneh Kami," yang sepertinya punya cara sendiri untuk mengingatkan keberadaannya.
Hilangnya Jejak di Arsip
Titik baliknya datang saat liburan semester. Sekolah kosong, dan aku kebetulan datang untuk mengambil buku yang tertinggal. Aku bertemu Bu Fatma, bendahara sekolah, yang sedang membereskan berkas-berkas.
Entah kenapa, aku iseng bertanya tentang Pak Harjo. "Bu, Pak Harjo libur juga ya?" Bu Fatma mengerutkan kening. "Pak Harjo siapa, Nak?" Aku terdiam. "Itu, penjaga sekolah yang tua, yang suka menyapu malam-malam." Wajah Bu Fatma berubah bingung. "Nak, penjaga sekolah kita hanya Pak Slamet dan Pak Jono. Tidak ada nama Harjo di daftar gaji, tidak pernah ada. Aku sudah di sini dua puluh tahun, dan aku tidak pernah mendengar nama itu." Jantungku berdebar kencang. Aku mencoba berargumen, menjelaskan sosok yang kami semua lihat. Tapi Bu Fatma hanya menatapku dengan tatapan khawatir, seolah aku sedang berhalusinasi. "Coba cek arsip lama kalau tidak percaya," katanya, mengisyaratkan bahwa dia sudah yakin tidak akan ada apa-apa. Dan benar saja, tidak ada. Tidak ada nama Harjo di daftar karyawan, tidak ada riwayat kerja, tidak ada jejak. Seolah "sosok yang seharusnya tak pernah ada" itu memang benar-benar tak pernah ada.
Pulang dari sekolah hari itu, aku merasa duniaku runtuh. Bagaimana mungkin? Kami semua melihatnya. Aku, Rina, Bima, Siska, bahkan guru-guru pun pernah menyapanya. Atau setidaknya, kami pikir kami menyapanya.
Apakah kami semua berhalusinasi massal? Tapi lalu, bagaimana dengan suara sapu itu? Malam itu, aku tidak bisa tidur. Pikiranku terus-menerus kembali ke lorong sekolah yang gelap, ke suara desiran sapu yang tak pernah absen di setiap malam. Jika dia tidak ada, lalu siapa yang menyapu? Apa yang kami lihat selama ini? Sebuah ilusi? Atau sesuatu yang jauh lebih menakutkan?
Suara yang Tak Pernah Berhenti
Aku menceritakan semuanya pada Rina dan Bima. Awalnya mereka tidak percaya, tapi setelah aku menunjukkan bukti bahwa nama Pak Harjo memang tidak ada di arsip, wajah mereka pucat pasi. Kami memutuskan untuk kembali ke sekolah malam itu.
Bukan untuk mencari bukti keberadaan Pak Harjo di arsip, tapi untuk mencari bukti keberadaan Pak Harjo itu sendiri. Kami menyelinap masuk melalui gerbang belakang yang sedikit rusak, jantung berdebar kencang di dada. Udara malam di sekolah terasa berbeda, lebih berat, lebih dingin. Setiap bayangan seolah bergerak, setiap suara angin seolah berbisik. Kami berjalan perlahan menyusuri koridor, senter ponsel kami menari-nari di dinding yang kosong. "Apa yang kita cari?" bisik Bima. "Kita cari Pak Harjo," jawabku, suaraku sendiri terdengar seperti bisikan asing. "Atau setidaknya, apa pun yang menyerupainya."
Kami sampai di lorong utama, tempat Pak Harjo selalu memulai pekerjaannya. Lampu-lampu koridor mati, hanya ada cahaya bulan yang samar menembus jendela tinggi. Sunyi. Terlalu sunyi.
Lalu, dari kejauhan, dari ujung lorong yang gelap, kami mendengarnya. Srrrk... srrrk... Suara sapu itu. Sama persis seperti yang kami dengar setiap malam. Jantung kami bertiga seolah berhenti berdetak. Kami saling pandang, mata kami membulat ketakutan. Suara itu semakin mendekat, perlahan tapi pasti. Lalu, dari kegelapan pekat, sebuah siluet muncul. Sosok kurus, dengan topi pet yang sedikit miring, bergerak lambat, menyapu lantai yang bersih. Kami bersembunyi di balik pilar, menahan napas. Sosok itu lewat di depan kami, begitu dekat sehingga kami bisa merasakan dinginnya udara yang ikut bergerak bersamanya. Tatapannya masih kosong, menembus kami seolah kami tidak ada. Tapi kali ini, ada yang berbeda. Ketika dia lewat, kami melihatnya. Kakinya tidak menyentuh lantai. Dia melayang, beberapa sentimeter di atas keramik, dan sapu di tangannya... sapu itu tidak memiliki gagang. Hanya kumpulan ijuk tua yang melayang di udara, mengikuti ritme gerakannya. Dan saat dia berbelok di tikungan, menghilang kembali ke kegelapan, sebuah bisikan dingin seolah menyapu telinga kami bertiga. "...aku belum selesai..." Kami tidak tahu harus lari ke mana. Kami tidak tahu harus bersembunyi di mana. Karena suara sapu itu, kini terdengar lagi, tepat di belakang kami.
Apa Reaksi Anda?
Suka
0
Tidak Suka
0
Cinta
0
Lucu
0
Marah
0
Sedih
0
Wow
0