Aku Merasakan Kehadiran Gelap, Tapi Tak Ada yang Percaya

VOXBLICK.COM - Malam itu. Aku masih ingat dengan jelas setiap detailnya, setiap retakan di langit-langit yang seolah membesar, setiap desir angin yang menembus celah jendela. Seharusnya itu hanyalah malam biasa, seperti malam-malam sebelumnya. Tapi sejak aku mendengar suara itu, bisikan samar yang melayang dari lorong gelap, segalanya berubah. Aku merasakan ada sesuatu yang mengintai, sebuah kehadiran gelap yang tak kasat mata namun begitu nyata, bersembunyi di sudut-sudut rumahku sendiri. Rasanya seperti ada mata yang terus mengawasiku, bahkan saat aku sendirian dalam kegelapan yang pekat.
Awalnya, aku berusaha meyakinkan diri bahwa itu hanya kelelahan, imajinasi yang berlebihan.
Namun, sensasi dingin yang tiba-tiba menusuk tulang di tengah ruangan yang hangat, atau bayangan yang melintas di tepi penglihatan saat tak ada siapa pun, mulai mengikis kewarasanku. Setiap bisikan yang seolah memanggil namaku dari balik dinding, setiap bayangan yang menari-nari di ambang pintu kamar, semakin meyakinkanku akan kehadirannya. Ini bukan sekadar rasa takut biasa ini adalah teror yang merayap, perlahan namun pasti, menggerogoti setiap sendi kepercayaanku pada realitas.

Ketika Bisikan Menjelma Sentuhan
Kehadiran itu semakin berani. Bisikan-bisikan yang tadinya samar kini terdengar lebih jelas, terkadang berupa desahan, terkadang seperti gumaman yang tak bisa kupahami, namun selalu membawa nuansa ancaman.
Aku mulai melihat pergerakan kecil dari benda-benda di sekitarku: sebuah buku yang jatuh dari rak tanpa sebab, pintu kamar mandi yang terbuka sendiri, atau lampu yang berkedip-kedip seolah ada yang bermain-main dengan saklarnya. Ketakutan itu mencengkeramku, membuatku sulit tidur, bahkan saat matahari bersinar terang di luar. Aku merasa seperti target, mangsa yang sedang diawasi, menunggu waktu yang tepat untuk disergap.
Pernah suatu malam, aku terbangun karena sensasi dingin yang luar biasa di kakiku.
Saat kubuka mata, selimutku telah tersingkap sebagian, dan aku bersumpah melihat siluet samar di ujung tempat tidurku, sebuah bentuk yang lebih gelap dari kegelapan itu sendiri. Jantungku berdebar kencang, memompa darah dengan panik. Aku ingin berteriak, tapi suaraku tercekat di tenggorokan. Siluet itu perlahan menghilang, meninggalkan sisa hawa dingin yang menusuk dan aroma aneh, seperti tanah basah dan sesuatu yang terbakar. Sejak saat itu, aku tahu ini bukan lagi sekadar halusinasi atau imajinasi liar. Ini nyata, dan ia ada di sini bersamaku.
Dinding Ketidakpercayaan yang Menjulang
Dengan segala kepanikan dan keyakinan akan apa yang kurasakan, aku mencoba berbagi. Pertama kepada ibuku, lalu kepada sahabat terdekatku, Rina. Aku menceritakan setiap bisikan, setiap bayangan, setiap sentuhan dingin yang kualami.
Aku berharap mereka akan mengerti, menawarkan bantuan, atau setidaknya menunjukkan sedikit empati. Namun, yang kudapat hanyalah tatapan kosong dan senyum meremehkan. Mereka menatapku seolah aku telah kehilangan akal sehat. Ibu menyarankan agar aku lebih banyak istirahat, sementara Rina mengatakan aku terlalu banyak menonton film horor.
Berikut adalah beberapa respons yang kudapatkan, yang semakin membuatku merasa sendirian:
- "Kamu pasti cuma terlalu lelah, Sayang. Coba tidur lebih awal."
- "Ah, itu cuma angin, atau mungkin tikus di loteng."
- "Jangan terlalu dipikirkan, nanti jadi sugesti."
- "Mungkin kamu butuh liburan, pikiranmu terlalu tegang."
- "Kamu yakin tidak sedang berhalusinasi? Ini bukan kamu yang biasanya."
Setiap penolakan, setiap kalimat yang meremehkan, terasa seperti pukulan telak. Mereka tak percaya padaku.
Bagaimana bisa mereka tidak melihat teror yang terpancar dari mataku? Bagaimana bisa mereka tidak merasakan ketakutan yang mencekikku setiap saat? Aku mulai merasa tak hanya diintai oleh kehadiran gelap itu, tetapi juga dikucilkan oleh orang-orang terdekatku sendiri. Kesendirian ini adalah siksaan ganda, memperparah rasa takutku dan membuatku merasa semakin rentan.
Jebakan yang Semakin Menjelas
Kehadiran itu, seolah mendapatkan kekuatan dari ketidakpercayaan orang lain, menjadi semakin agresif. Suara-suara kini lebih keras, kadang terdengar seperti tawa cekikikan yang mengerikan, kadang seperti bisikan ancaman yang jelas.
Aku sering menemukan barang-barangku berpindah tempat, atau bahkan hilang sama sekali dan muncul kembali di tempat yang paling tidak terduga. Pintu-pintu akan terbanting tertutup dengan keras saat aku melewatinya, dan aku mulai sering merasakan tarikan pada pakaianku atau rambutku, seolah ada tangan tak kasat mata yang menjahiliku. Namun, jahilan ini terasa lebih seperti pelecehan, sebuah upaya untuk memecah belah jiwaku.
Aku mencoba mencari perlindungan. Aku memasang salib di setiap ruangan, membakar dupa, bahkan mencoba membaca doa-doa yang kuingat. Tapi semua itu sia-sia. Kehadiran gelap itu seolah menertawakan setiap usahaku. Ia menjadi lebih kuat, lebih nyata.
Aku mulai melihatnya lebih sering, bukan lagi hanya bayangan samar, tapi siluet yang lebih jelas, bersembunyi di balik tirai atau di sudut ruangan yang gelap. Matanya, aku bersumpah aku bisa merasakan matanya menatapku, meski aku tidak bisa melihatnya dengan jelas. Itu adalah tatapan dingin, penuh kebencian, dan rasa lapar.
Setiap malam adalah perjuangan. Aku mencoba tetap terjaga, tapi kelelahan selalu mengalahkan.
Dan setiap kali aku terlelap, mimpi buruk yang mengerikan akan menyergapku, menampilkan wajah-wajah tanpa mata, tangan-tangan kurus yang mencoba meraihku, dan bisikan-bisikan yang menuduh. Aku terbangun dengan keringat dingin, jantung berdebar, hanya untuk menemukan kegelapan di kamarku terasa lebih pekat, lebih berat, seolah kehadiran itu telah menunggu di sampingku sepanjang malam.
Aku tahu ini akan jadi akhirku. Mereka tak percaya padaku, dan aku telah ditinggalkan sendirian menghadapi entitas yang tak terlihat ini. Suatu pagi, aku menemukan goresan dalam di lenganku, seolah dicakar oleh sesuatu yang tajam.
Aku tidak ingat kapan atau bagaimana itu terjadi. Panik, aku mencoba menelepon Rina lagi, tapi teleponku mati, meskipun baterainya penuh. Listrik di rumahku padam, dan aku mendengar suara langkah kaki berat menyeret di lantai atas, suara yang tidak mungkin berasal dari manusia. Lalu, bisikan itu datang lagi, kali ini sangat dekat, tepat di belakang telingaku. Ia mengucapkan namaku, dengan suara yang serak dan dingin, penuh kemenangan. Aku merasakan tarikan kuat di kakiku, menyeretku menjauh dari pintu depan yang terkunci rapat. Kegelapan merangkulku, dan aku tahu, aku benar-benar tahu, tak ada yang akan pernah menemukan jejakku di sini.
Apa Reaksi Anda?






